Selasa, 24 Maret 2009

selamat berkampanye!!

Salah satu solusi atas problematika kebangsaan ini adalah:Kita membutuhkan pola kepemimpinan “Kolegial Yang Kuat atau Kuat Yang kolegial, berlandaskan nilai-nilai egalitariansme tinggi.Dengan pola itu,setidaknya satu problematika kebangsaan kita bisa diatasi. Sebab pola tersebut akan mampu mengatur peran individu dan tanggung jawab kelompok terhadap masyarakat. Di samping itu, pola ini juga akan mampu mendistribusikan kekuasaan secara proporsional di semua level dan bersifat hierarkis.Memang butuh keajaiban mental, tapi bersumpahlah bahwa bumi NKRI ini masih mempunyai mentalitas pemimpin yang demikian.Dan yang paling penting dlm tulisan ini adalah “Telah terjadinya PERANG MODERN DI BUMI NKRI “Anda tau bukan dg USA yang ingin merubah NKRI & UUD ‘45… “Anda tau bukan dg UE yang ingin merubah NKRI & UUD ‘45 dengan sistem sosializm demokratik… “Anda tau bukan dg Tim-Teng yang ingin merubah NKRI & UUD ‘45 dg NII..Inilah perang modern yang tengah terjadi.Jika masing-masing dari kita tidak mau melihat diri,tidak mampu menempatkan semua pada proporsinya,maka AJAIBLAH……………………Kehancuran itu akan tiba. Skenario Konflik yang diperankan mereka akan menuai hasil.Catat baik-baik alat apa yang akan mere gunakan untuk memecah belah kita.Tidak lebih, salah satunya meliputi: politik, ideologi,geografis(Ras dan Sara), ekonomi, budaya dll.Apa benar NKRI akan berubah bentuk menjadi negara FEDERAL ala Amerika, atau negara Soialis ala Uni Eropa, ataukah Negara Islam ala Tim-Teng?Tentu tidak...Sebab RI memiliki cita-cita tersendiri,memiliki kebudayaan sendiri, mempunyai asas sendiri.Yang Indonesia saja...Yang Pancasila saja...!!!!Dengan Salam Kebangkitan, Salam Berdaulat untuk merdeka!!!
SELAMAT BERKAMPANYE DENGAN BAIK DAN BENAR

Sabtu, 07 Maret 2009

Penting dipelajari, Untuk dihindari..!!

Yah, mungkin sudah basi, tapi penting dipelajari, untuk dihindari....
Banyak analis yg mengatakan bahwa; Hanya dengan kedipan mata sudah cukup menimbulkan aksi dan reaksi gerakan lain di sekitarnya. Itulah soeharto yang mengklaim dirinya sebaga pribadi dengan ciri khas Sang Raja Jawa. Kita mungkin masih ingat bagaimana sikap para pejabat Indonesia yang merasakan sayat luka dan terhina ketika media lokal maupun internasional menulis kekayaan keluarga Soeharto. Atau bagaimana pada waktu itu, salah seorang seorang kiai di Jawa Timur tidak risau memanipulasi agama untuk menggalang dukungan kepada Soeharto. Dalam shalat istikharah yang dilakukannya, begitu sang kiai mengatakan, dia melihat Presiden Soeharto berada di suatu tempat dikelilingi banyak orang. Lalu muncul bayangan Ka’bah dan terdengar suara amat jelas yang menggetarkan hati, sang kiai pun meyakini sebagai suara Nabi Muhammad. "Saya titip Indonesia kepada kamu, ya Soeharto....," kata suara itu. Dan begitulah, Soeharto melengganng memasuki masa jabatan keenamnya. Namun pada 1998 dia terbukti salah membaca tanda-tanda zaman. Entah di lain waktu?
Dalam masa itulah, geliat era baru yang disebut dengan orde reformasi menggema, elit nasional bersatu padu, mengkonsolidir kekuatan untuk memeberi dukungan terhadap gerakan mahasiswa menuntut Soeharto berikut kroni-kroninya untuk mundur dari kekuasaannya. Apakah dengan era baru berarti kita harus membangun seluruhnya dari awal lagi? Jika tidak salah berarti benar…!!! Anda tentu ingat, setelah reformasi 98 bergulir, BJ. Habibie sebagai presiden pengganti Soeharto selama 32 tengah menoyodorkan pertanyaan di atas kepada seluruh rakyat Indonesia.
Anda tertarik? Saya mengajak kita semua untuk bersungguh-sungguh dalam melihat dan menelaah problem kebangsaan tersebut. Bagaimanapun, dengan reformasi kita tidak bermaksud “mendirikan Negara baru” . kala itu, orde Reformasi memang tidak bermnaksud mendirikan Negara baru lagi, dan perubahan tidak harus berganti raja. Artinya, jelang 2009 telah menimbulkan harapan-harapan baru masyarakat yang salah satunya menginginkan negara ini harus dipimpin oleh pemimpin yang baik, pejabat atau para birokrat yang bersih dari KKN, tanpa kroni yang bertujuan menjadikan bangsa ini bertambah bejat. Jika tidak, perubahan yang dimulai sejak era baru yang diesbut orde reformasi hingga kini tidak dan takkan pernah menemukan substansi yang jelas. Reformasi atau sebut saja era baru menuju perubahan sepertinya hanya menjadi jargon kosong, hampa dan tidak mempunyai makna bahkan target apapun selain lestari dan melestarikan kebiasaan buruk bangsa dan para pemimpinnya yang kian bejat. Anehnya lagi, budaya copy paste bangsa dan masyarakat kita berakibat pada stigma, asumsi dan pendapat yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Mengapa kita justru terjebak pada patron klien yang ada, mengapa kita menjadi ta’jub pada sesuatu hal yang aneh, mengapa kita kembali percaya tentang sesuatu yang palsu itulah yang nyata, yang salah itulah yang benar, yang benar itu keras kepala, arogan, tidak bisa kompromi. Sungguh aneh, tapi itu nyata....!!!
Lantas kita mau apa dengan bangsa ini? Kita mau apa dengan pemimpin yang demikian bejat, yang sampai kapanpun harus terus menjabat? Yang bejat tidak pernah merasa dipilih oleh rakyatnya, tidak penting sama sekali apakah rakyat mempercayainya dan apakah dia harus mempertanggungjawabkan tingkah laku kekuasaannya. Semuanya bergantung pada dia.Harapnnya jelang ritual 5 tahunan pada 2009 ini tidak ada pemimpin yg bejat, kita harus mendukungnya untuk tidak lagi berbuat bejat,jahat terhadap bangsa ini...!!!!
Saya mengajak kita semua untuk berdialektika dan mencoba membangnun segala kemungkinan, dalam rangka membangun spirit agar kepercayaan serta jati diri bangsa ini kembali pulih, agar bangsa ini dapat keluar dari kungkungan situasi yang teramat kejam dan kian bejat ini. Ah…!!! Lupakan semuanya, anggaplah kita dan Negara ini terisolasi oleh para pemodal besar Indonesia yang berkolaborasi dengan pemodal asing, anggaplah bangsa ini terisolasi total….Ah semuanya kian bejat…!!!
Lantas apa modal kita untuk bangkit dan memulai perubahan? Apakah pemerintah kita tidak pernah berusaha untuk mulai bangkit? Tidak fair, jangan berkata seperti itu. Mari kita melakukan internalisasi diri, melihat persoalan dengan kepala dingin, penuh kearifan serta kebijaksanaan. Kenapa kita merasa ketakutan yang teramat berlebihan? Bukankah kita dan bangsa ini memiliki kekayaan alam yang bergelimang ruahnya, bukankah rakyat kita sudah mulai cerdas dan berpendidikan? Itulah modal utama kita. Namun harapan ini akan benar-benar terwujud jika bangsa ini mempunyai pemimpin yang baik dan peduli, berkharisma jg berwibawa.
Maka tepat sekali dengan apa yang dikatakan oleh para filsuf, bahwa “Bangsa sejahtera adalah bangsa yang memiliki tiga hal; Pemimpin yang baik - Pangan yang cukup – Tentara / Senjata”. Akan tetapi jika bangsa ini tetap saja miskin dan harus membuang satu diantara tiga, maka tentara / senjata yang harus terbuang lebih dulu. Jika itu sudah dilakukan dan bangsa ini tetap saja miskin, maka pangan adalah satu diantara dua yang harus terbuang lagi. Pemimpin yang baik tidak boleh dibuang, sebab dengan pemimpin yang baik bangsa ini bisa mencapai pangan sebagai wujud kesejahteraan dan tentara / senjata sebagai komponen keamanan agar terhindar dari ancaman bangsa-bangsa asing. Bahkan jika kita atau bangsa ini memiliki sosok pemnimpin yang baik, penuh wibawa juga kharisma, maka bangsa ini akan dapat mencapai hal lain yang jauh lebih banyak dan lebih penting dari dua hal tadi.
Dari sini kita bisa mereka-reka, menelaah sebelum memutuskan untuk mencari figur pemimpin yang baik. Jangan berlebihan, secukupnya saja. Cukup ber-Pancasila dan ber-Undang-Undang Dasar 1945. agar nanti juga merasakan apa yang disebut dengan Trickle Down Effect, dalam hal apapun menyangkut kesejahteraan hidup manapun. Kita harus turut berpartisipasi aktif untuk mewujudkannya.Itu saja kok..!!!

Senin, 23 Februari 2009

Bangsa Yang Irrasional

Gemah ripah Loh jinawi, Toto tentrem Karto Raharjo

Adagium lama yang akbrab ditelinga, namun tak kunjung jadi harapan. bagaimana tidak, telah lebih dari setengan abad bangsa ini lahir namun ketentraman dan kesejahteraan yang dicita-citakan masih jauh dari harapan. alih-alih terjadi perbaikan, yang terjadi malah kemelorotan, degradasi dalam setiap aspek kehidupan.
Bangsa ini kaya akan sumber daya alam, gunung2 menjulang tinggi, hutan lebat menghalau di seluruh kepulauan nusantara, samudera yang kaya raya terbentang luas membirui peta Negeri Kesatuan Repeblik, isi perut bumi yang melimpah dengan menghasilkan aneka bahan tambang; emas, minyak, timah dll. Namun kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi sosio-kultural bangsa ini tetap saja memprihatinkan.
setiap hari, melalui media massa baik elektronik maupun cetak, kita selalu disuguhan dengan berita2 keprihatinan; musibah, kelaparan, tindak kriminal dan fenomena sosial lainnya. wah, rasanya bangsa ini tidak akan pernah kehabisan berita, membanggakan kiranya bila berita itu mengangkat keberhasilan bangsa di mata dunia melalui kemampuan yang dimiliki, semisal olahraga atau apalah, tapi ini sebaliknya, berita yang tersaji adalah khabar lelayu, matinya kewibawaan ini sebagai bangsa yang besar.
hari kehari selalu saja ada fenomena sosial yang membuat hati ini miris, terakhir yang paling fenomenal adalah aksi si dukun cilik ponari dari jombang. hebat kali anak ini!! belasan ribu orang rela berkerumun dan berdesak-desakan untuk mengantri demi mendapatkan pengobatan dari si dukun ponari yang dipercaya dapat menyembuhkan segala penyakit. sedemikian irasional-kah masyarakat bangsa ini??
terserah kalian sajalah hendak mempersepsikan bangsa ini seperti apa. yang jelas, aku tak lagi melihat bangsa ini memiliki kewibawaan di mata rakyatnya sendiri. jadi aku rasa percuma saja aku membual tak karuan mengkomentari carut marutnya bangsa ini. aku cukupkan sekian saja!

Senin, 12 Januari 2009

Nikmatnya Kopi

Kenikmatan minum kopi memang tidak bisa dipungkiri oleh siapa saja. Sayang, selain memberi dampak positif, minum kopi ternyata membawa dampak ikutan yang bisa berbahaya. Jadi bagaimana bisa tetap nyeruput kopi namun tetap aman ? Kopi mengandung kafein yang ternyata dapat menimbulkan perangsangan terhadap susunan saraf pusat (otak), sistem pernapasan, serta sistem pembuluh darah dan jantung. Sebab itu tidak heran setiap minum kopi dalam jumlah wajar (1-3 cangkir), tubuh kita terasa segar, bergairah, daya pikir lebih cepat, tidak mudah lelah atau pun mengantuk. Dampak positif ini menyebabkan orang sulit terlepas dari kebiasaan minum kopi. Minum kopi lebih tepat bagi orang yang belajar ilmu-ilmu sosial atau menghapal. Minumlah sekitar setengah sampai satu jam sebelum aktivitas belajar atau menghapal dimulai. Lebih jauh, kafein ternyata dapat menetralisasi asam lemak dalam darah. Mengganggu kesuburan Sayangnya, kebiasaan minum kopi acap kali memunculkan efek "kecanduan" baik secara psikologis maupun fisiologis. Ciri umum ketergantungan kopi antara lain rasa letih atau lelah, tak bersemangat dan mengantuk kalau sehari saja tidak minum kopi. Yang wajar adalah mengonsumsi kopi sebanyak 85 - 200 mg atau 1 - 3 cangkir kopi. Namun, minum kopi di atas 250 mg sekaligus dapat menyebabkan gangguan kesehatan, seperti jantung berdebar, gelisah, insomnia (sulit tidur), gugup, tremor (tangan bergetar), bahkan mual sampai muntah-muntah. Minum kopi juga berbahaya bagi penderita hipertensi (tekanan darah tinggi) karena senyawa kafein bisa menyebabkan tekanan darah meningkat tajam. Selain itu, kopi juga bisa meningkatkan aliran darah ke ginjal dengan akibat produksi urin bertambah. Jadi, jangan heran kalau tak lama sehabis mengkonsumsi kopi kandung kencing cepat penuh. Minum kopi terlalu banyak bisa pula mengurangi kesuburan wanita, apalagi kalau dikombinasikan dengan alkohol. Bagi wanita usia menopause, minum kopi dalam jumlah banyak bisa menambah risiko kekeroposan tulang (osteoporosis). Pada dosis sedang, kafein menaikkan produksi asam lambung yang berlangsung lama, sehingga dapat memperbesar risiko penyakit lambung, tukak lambung, atau tukak usus halus. Jadi para penderita kelemahan lambung hendaknya menghindari konsumsi kopi. Penyakit jantung dan arteriosklerosis Masalah dampak kopi kasar atau tidak disaring (unfiltered) ini dipelajari oleh sejumlah peneliti di Belanda. Mereka mengamati tingginya kadar homosistein dalam darah pecandu kopi. Homosistein merupakan substansi yang terbentuk dari metionin, yakni suatu asam amino esensial yang terbentuk pada saat tubuh mengeluarkan protein. Padahal peningkatan homosistein berhubungan erat dengan risiko penyakit jantung. Seorang peneliti Belanda menambahkan, dua minggu setelah setiap hari minum enam cangkir kopi, konsentrasi homosistein seseorang naik 10% dari angka normal. Begitu juga kadar kolesterol dan trigliserida. Namun, kenaikan ini tidak permanen. Bila kopi dihentikan dan keadaan tubuh sehat, kelebihan homosistein dapat secara alami normal kembali. Selain dengan mengurangi kafein, kenaikan kadar homosistein dapat pula dicegah dengan mengurangi konsumsi protein hewani yang banyak mengandung metionin. Bila dalam sehari minum 1,360 g kopi kasar (sekitar 6-7 cangkir), diperkirakan risiko untuk terkena serangan jantung atau stroke naik 10%. Selain itu kadar vitamin B6 bisa berkurang sampai 21%. Atas dasar itu alangkah baiknya tidak minum kopi, khususnya bagi mereka yang berisiko tinggi penyakit jantung. Kalau pun harus minum kopi, untuk kita sebaiknya hanya 1-3 cangkir sehari. Itu pun tidak pada saat menjelang tidur. Kopi bisa digantikan segelas air jeruk, sayuran hijau, disertai konsumsi vitamin B6 dan B12. Jenis-jenis makanan dan minuman ini tidak mengandung seng dan kafein tapi tinggi mineral, vitamin serta asam folat. Padahal vitamin B6, B12, dan asam folat sangat berperan dalam menurunkan kadar homosistein dalam tubuh, sehingga penyakit jantung koroner pun bisa dihindari.

Wihdatul Wujud

Wahdatul Wujud - Pemahaman Sufisme Ibn Arabi
Wahdat al-Wujud
Ibn Al-‘Arabi adalah penganut faham Tauhid Wujudi bahkan ia merupakan panutan dalam pemikiran ini. Pemikiran yang selalu menjadi sorotan tajam dari kaum fuqoha. Pemikiran inilah yang menjadi landasan konsep pendidikannya bahkan semua pola pikirnya berporos pada pemahaman ini. Perlu digaris bawahi bahwa Ibn Arabi belum pernah menyebutkan istilah wahdatul wujud dalam kitabnya namun istilah ini dicetuskan oleh orientalis/ kafirin. Namun dari berbagai ajarannya bisa dikatakan bahwa pemahamannya adalah wahdatul wujud.
Dalam menjelaskan konsep wahdatul wujud Ibn Arabi mengungkapkan:
“ketahuilah bahwa wujud ini satu namun Dia memiliki penampakan yang disebut dengan alam dan ketersembunyiannya yang dikenal dengan asma (nama-nama), dan memiliki pemisah yang disebut dengan barzakh yang menghimpun dan memisahkan antara batin dan lahir itulah yang dikenal dengan Insan Kamil”.
Ia juga menjelaskan:
“Ketahuilah bahwa Tuhan segala Tuhan adalah Allah Swt. Sebagai Nama Yang Teragung dan sebagai ta’ayun (pernyataan) yang pertama. Ia merupakan sumber segala nama, dan tujuan terakhir dari segala tujuan, dan arah dari segala keinginan, serta mencakup segala tuntutan, kepadaNya lah isyarat yang difirmankan Allah kepada RasulNya Saw -bahwa kepada Tuhanmulah tujuan terakhir- karena Muhammad adalah mazhar dari pernyataan pertama (ta’ayyun awwal), dan Tuhan yang khusus baginya adalah Ketuhanan Yang Teragung ini. Ketahuilah bahwa segala nama dari nama-nama Allah merupakan gambaran dalam ilmu Allah yang bernama dengan ‘mahiat’ atau ‘ain sabitah’ (esensi yang tetap). Setiap nama juga memiliki gambaran di luar yang diberi nama dengan mazahir (penampakan atau fenomena) dan segala nama tadi merupakan pengatur dari mazahir (fenomena-fenomena) ini. Sedang Haqiqat Muhammadiyah merupakan gambaran dari nama ‘Allah’ yang menghimpun segala nama ketuhanan yang darinya muncul limpahan atas segala yang ada dan Allah Swt sebagai Tuhannya. Haqiqat Muhammadiyah yang mengatur gambaran alam seluruhnya dengan Tuhan yang tampil padanya, disebut dengan Rab al-arbab (Allah Swt).”
Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan Haqiqat Muhammadiyah di sini bukan hanya Nabi Muhammad sebagai manusianya namun Haqiqat Muhammadiayah adalah Asma dan Sifat Allah serta Akhlaqnya. Nabi muhammad disebut dengan Muhammad karena Beliau mampu berakhlaq dengan seluruh akhlaq ketuhanan tersebut.
Selanjutnya Ibn Arabi juga mengatakan:
“ketahuilah bahwa yang ada hanya sifat-sifatNya Allah, af’alNya maka semuanya adalah Dia, denganNya, dariNya dan kepadaNya. Kalaulah ia terhijab dari alam ini walaupun sekejap maka binasalah alam ini secara keselurhan, kekalnya alam ini dengan penjagaanNYa dan penglihatanNya kepada alam. Akan tetapi jika sesuatu sangat tampak jelas dengan cahayaNya hingga pemahaman tidak mampu untuk mengetahuinya maka penampakan itulah yang disebut dengan hijab.”
Jadi asma dan sifat itulah yang disebut dengan Haqiqat Muhammadiyah, dan alam muncul dari hakikat tersebut. Oleh sebab itu Ibn Arabi mengungkapkan:
“Alam pada hakikatnya adalah satu namun yang hilang dan muncul adalah gambarnya saja”.
Maksudnya hakikat alam tadi berasal dari Zat Yang Satu, yang pada dasarnya gambaran alam tadi hilang dan muncul, artinya alam itu pada hakikatnya tiada berupa gambar saja. Dalam hal ini ia menyatakan:
“Maha Suci Allah yang menciptakan segala sesuatu Dialah segala sesuatu tadi.”
Artinya penampakannya tiada lain Dia juga, yang tampil dariNya adalah Dia juga.
Lebih jelasnya Syaikh Abd Ar-Rauf Singkil menjelaskan dalam sebuah karyanya:
“wujud alam ini tidak benar-benar sendiri, melainkan terjadi melalui pancaran. Yang dimaksud dengan memancar di sini adalah bagaikan memancarnya pengetahuan dari Allah Ta’ala. Seperti halnya alam ini bukan benar-benar Zat Allah, karena ia merupakan wujud yang baru, alam juga tidak benar-benar lain dariNya. Karena ia bukan wujud kedua yang berdiri sendiri disamping Allah.”
Jadi alam bukanlah sebenarnya Allah namun pancarannNya dengan kata lain hijabnya. Hal ini dikuatkan oleh penjelasan Willian dalam salah satu karyanya mengenai Ibn Arabi: “Hanya satu wujud dan seluruh eksistensi tiada lain adalah pancaran dari Wujud Yang Satu.” Kesimpulannya yang tampak itulah makhluk cipatanNya sedang ZatNya tetaplah ghaib. Hal ini dijelaskan oelh Ibn Arabi sebagai berikut:
“Allah nyata ditinjau dari penampakanNya pada cipatanNya dan batin dari segi Zatnya.”
Untuk lebih jelasnya, Tajalliyat Allah pada lingkatan wujud adalah merupakan penampakan Allah berupa kesempurnaan dan keagungan yang abadi. Zatnya merupakan sumber pancaran yang tak pernah habis keindahan dan keagunganNya. Ia merupakan perbendaharaan yang tersembunyi yang ingin tampil dan dikenal. Allah sebagai keindahan ingin membuka perbendahataan tersembunyi tersebut dengan Tajalliyat (teofani) Haq tentunya yang merupakan penampakan-penampakan dari keagungan, keindahan dan kesempurnaanNya dalam pentas alam yang maha luas.
Ibn Arabi berkata: “Alam maujud atau mengada denganNya”.
Tajalliyat al-Wujud dengan gambaran global dalam tiga hadirat: Hadirat Zat (Tajalliyat Wujudiya Zatiya) yaitu pernyataan dengan diriNya untuk diriNya dari diriNya. Dalam hal ini Ia terbebas dari segala gambaran dan penampakan. Ini dikenal dengan Ahadiyat. Pada keadaan ini tampak Zat Allah terbebas dari segala sifat, nama, kualitas, dan gambaran. Ia merupakan Zat Yang Suci yang dikenal dengan rahasia dari segala rahasia, gaib dari segala yang gaib, sebagaimana ia merupakan penampakan Zat, atau cermin yang terpantul darinya hakikat keberadaan yang mutlak. Tajalliyat Wujudiya Sifatiya yang merupakan pernyataan Allah dengan diriNya, untuk diriNya, pada penampakan kesempurnaanNya (asma) dan penampakan sifat-sifatNya yang azali. Keadaan ini dikenal dengan wahdah. Pada hal ini tampak hakikat keberadaan yang mutlah dalam hiasan kesempurnaan ini lah yang dikenal dedngan Haqiqat Muhammadiyah (kebenaran yang terpuji), setelah ia tersembunyi pada rahasia gaib yang mutlak denganjalan faid al-aqdas (atau limpahan yang paling suci karena ia langsung dari Zat Allah). Dalam keadaan ini tampillah al-A’yan as-Sabitah (esensi-esensi yang tetap) atau ma’lumat Allah. Tajalliyat Wujudiyah Fi’liyah (af’aliyah) yaitu pernyataan Haq dengan diriNya untuk diriNya dalam fenomena esensi-esensi yang luar (A’yan Kharijah) atau hakikat-hakikat alam semesta. Keadaan ini dikenal dengan mutlaq dengan ZatNya, sifatNya dan perbuatanNya dengan jalan limpahan yang suci (al-faid al-muqaddas). Allah pun tampak pada gambaran esensi-esensi luar (A’yan Kharijah), baik yang abstrak maupun yang kongkrit yang merupakan asal dari alam semesta seluruhnya.
Allah Swt merupakan awal dari tajalliyat wujud segala fenomenanya dan dimensinya. Jadi Dia tidak berasal dari ketiadaan dan tidak berakhir kepada ketiadaan pula. Ia merupakan karya absolut yang berada pada lingkatan yang absolut, ia berasal dari yang Haq dengan Haq dan kepada yang Haq, baik dalam tahap Zat, Sifat dan Af’al. semuanya adalah penampakan dari hakikat yang satu.
Namun apakah berarti alam adalah Allah dan Allah adalah alam. Bisa dikatakan ‘ya’ atau ‘tidak’, sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam salah satu karyanya:
“Dalam hal ini ada sebagian golongan sufi yang terpeleset jatuh dalam kekhilafan dari yang sebenarnya, mereka berkata tidak ada kecuali apa yang engkau lihat bahwa alam adalah Allah dan Allah adalah alam tiada lain. Sebabnya kesaksian ini terjadi karena mereka belim benar benar mencapai apa yang dicapai oleh muhaqiqun. Kalau mereka mencapai apa yang dicapai oleh muhaqiqin maka meraka tidak akan berkata demikian dan menetapkan segala hakikat pada tempatnya dan mengetahuinya dengan ilmu dan penyingkapan.”
Disamping itu penyatuan antara manusia dan hamba adalah mustahil ataupun Allah bertempat adalah juga mustahil. Hal ini ia jelaskan dalam sebuah kitabnya:
“Ittihad adalah mustahil karena dua zat menjadi satu, tidak akan mungkin bertemu antara hamba dan Tuhan pada satu wajah selamanya ditinjau dari ZatNya.”
Dari pernyataan ini jelas beliau tidak berpaham panteisme, jadi bagaimana menafsirkan wahdatulwujud tersebut? Sebagaimana yang diungkapkan sebelumnya bahwa Zat Allah adalah sumber segalanya. Jadi yang disebut eksistensi atau wujud adalah Zat tersebut. Sedangkan keadaan yang dikenal dngan Haqiqat Muhammadiyah (A’yan sabitah, wahdah, tajalliyat wjudiyah sifatiyah) merupakan penampakan atau bayangan dari Zat Yang Suci yang bernama Allah. Kemudian keadaan yang bernama Wahdaniyat (tajalliyat wujudiyah fi’liyah atau a’yan kharijiyah) adalah bayangan dari wahdah atau Haqiqat Muhammadiyah. Jadi seluruhnya bayangan dari Zat Yang Suci. Lebih jelasnya alam ini (a’yan kharijiyah) penampakan atau bayangan dari Asma Allah yang dikenal dengan Haqiqat Muhammdiyah ataupaun A’yan Sabitah. Sedangkan Asma adalah penampakan dari Zat Yang Maha Suci. Jadi bayangan adalah sesuatu yang pada hakikatnya tiada namun ia ada bergantung kepada Zat Allah, sebagaimana bayangan suatu benda.
Penjelasan diatas dikuatkan dengan perkataan Ibn Arabi dalam kitab Futuhat:
Jika Engkau nyatakan: “Tiada sesuatupun yang setara denganNya maka hilanglah bayangan sementara bayangan terbentang maka hendaklah engkau memperhatikan lebih teliti.”
Dalam kitab Al-Jalalah beliau menjelaskan:
“Segala sesuatu memiliki bayangan dan bayangan Allah adalah Arasy. Akan tetapi bukanlah setiap bayangan terbentang. Arasy bagi Tuhan adalah bayangan yang tidak terbentang, apakah engkau tidak memperhatikan bahwa jisim yang memiliki bayangan apabila diliputi oleh cahaya maka bayangannya ada padanya.”
Bayanganyang dimaksud di sini adalah alam semesta. Manusia memiliki banyak bayangan jika dia disinari oleh beberapa cahaya yang datang dari berbagai arah, wajahnya akan muncul dalam berbagai cermin yang pada hakikatnya ia adalah satu namun dipatulkan oleh beraam cermin. Begitu pula Allah Esa dari segi ZatNya dan berbilang dari segi penampakanNya dalam gambaran serta bayanganNya dalam cahaya. Jadi jelas bahwa sebenarnya alam ini adalah bayangan yang hakikatnya tiada atau dikenal dengan batil. Ibn Arabi menjelaskan:
“sebenar-benar ungkapan yang dikatakan oleh orang Arab bahwa; “segala sesuatu selain Allah adalah batil” karena siapa yang keberadannya tergantung kepada yang lain maka dia adalah tiada.”
Ia juga mengungkapkan dalam Risalah al-Wujudiyah:
“Sesungguhnya engkau tidak pernah ada sama sekali dan bukan pula engkau ada dengan dirimu atau ada di dalamNya atau bersamaNya dan bukan pula engkau binasa ataupun ada.”
Untuk menjelaskan perkataan ini ia mengutip perkataan Abu Said Al-Kharraj menyatakan: “Aku mengenal Allah dengan menghimpun segala dua hal yang bertentangan.” Artinya Dialah Yang Lahir dan Yang Batin tanpa keadaan yang lain. Dijelaskan juga dalam kitabnya Ar-risalah Al-Wujudiyah:
“Dialah Yang Awal tanpa berawal, Yang Akhir tanpa berakhir, Yang Lahir tanpa jelas, Yang Batin tanpa tersembunyi.”
Hal ini jika difahami berarti bahwa manusia tidak memiliki keberadaanyang independen dalam arti kata keberadaannya pada hakikatnya adalah bayangan dari keadaan Allah. Karena pada hakikatnya manusia tiada yang ada Allah. Jadi manusia adalah penampakan, bayangan atau ayat Allah yang pada hakikata adalah tiada atau khayal. Karena suatu yang sifatnya khayal berjumpa dengan khayal seolah kelihatan nyata.
Dalam Fusus al-Hikam Ibn Arabi mengungkapkan:
“Ketahuilah bahwa hadirat khayal merupakan hadirat yang menghimpun dan mencakup segal seuatu dan yang bukan sesuatu.”
Jadi jelas bahwa alam ini adalah fana atau khayal danyang kekal dan tampak adalah ZatNya Yang Suci dengan penampakan-penampakan yang indah dan agung yang mewujudkan kesempurnaanNya yang tiada batas.”
Di lain bukunya Ibn Arabi mengungkapkan:
“Tidak ada dalam wujud ini selain Allah, kita walupun ada (Maujudun) maka sesungguhnya keberadaan kita denganNya, barang siap yang keberadaannya dengan selain Allah maka ia masuk dalam hukum ketiadaan.”
Maksudnya ialah bahwa Allah ada dengan sendiriNya dan tidak mengambil keberadaannya dari yagn lain. Sedangkan alam adalah ada karena Allah mengadakannya. Jadi alam adalah keberadaanyang mungkin ada yang pada hakikatnya tiada. Di sini kita harus membedakan antara wujud dan maujud. Wujud merupakan isim masdar yang berarti keadaan dan Maujud merupakan isim maf’ul berarti sesuatu yang mengada karena pengaruh lain . Bisa ditafsirkan bahwa Allah adalah keberadaan itu sendiri atau Zat Yang Maha Ada, sedang maujud adalah sesuatu yang menjadi ada disebabkan hal lain. Maujud merupakan ‘objek’ yang berarti sesuatu yang menerima pengaruh perbuatan yang lain. Jadi sesuatu yang menjadi ada karena adanya keberadaan yang lain bukanlah keberadaan yang sejati namun keberadannya bergantung kepada Wujud Yang Sejati. Keberadaannya disebut dengan khayal, artinya ia ada karena bergantung pada Wujud Sejati. Namun jia sesuatu tidak bergantung kepada Wujud Sejati tentu dia tiada, karena siapa yang akan memberikannya keberadaan? Jadi jelas yang dimaksud dengan Wahdat al-Wujud adalah bahwa wujud yang sejati adalah satu. Bukan berarti alam adalah Allah dan Allah adalah alam.
Dalam menerangkan wahdatulwujud Ibnu Arabi kadang mengutip kuplet berikut, sebagaimana yang termaktub dalam kitab al-Alif: Dalam segala sesuatu Dia memiliki ayat Menunjukkan kenyataan bahwa Dia adalah Satu.
Kesatuan wujud ini juga dapat difahami dari sebuah hadis yang sering dikutip Ibn Arabi dalam menerangkan masalah Wahdat al-Wujud yaitu: Kanallahu wala syai’a ma’ahu artinya ‘dahulu Allah tiada sesuatu apapun besertaNya’. Disempurnakan dengan perkataan wahuwal aana ‘ala makaana artinya ‘sekarang Ia sebagaimana keadaanNya dahulu’. Maksud dari kedua pernyataan ini tidak ada sesuatu apapun yang menyertai Allah selamanya dan segalaNya pada sisiNya adalah tiada. ‘Tiada Tuhan selain Allah’ artinya segala sesuatu berupa alam yang gaib dan nyata adalah bayangan Allah yang pada hakikatnya tiada. Karena segala sesuatu yang tiada bisa dijadikan Tuhan oleh manusia dan yang pada hakikatnya yang ada hanya Zat Allah Yang Maha Suci yang bernama Allah.
Yang dapat disimpulkan dari penjelasan di atas ialah, alam bisa dikatakan Allah dan bisa juga tidak. Dilihat dari keterbatasan alam dan hakikatnya yang merupakan khayal semata maka alam bukanlah Allah. Namun jika dilihat bahwa alam tidak akan muncul dengan sendirinya dan mustahil ada wujid disamping Allah ataupun diataNya atau dibawahNya atau ditengahNya atau didalamNya atau diluarNya maka alam adalah penampakan Allah. Penampakan itu tiada lain allah jua adanya.
Dibalik itu semua dalam memahami hal ini bukanlah cukup dengan logika namun harus dibuktikan dengan penyaksian sebagaimana pernyataan Ibn Arabi:
“Tauhid adalah penyaksian danbukan pengetahuan, barang siapa menyaksikan maka ia telah bertauhid barang siapa hanya mengetahui ia belum bertauhid.”
Jadi beginilah yang dapat difahami dari Wahdat al-Wujud. Permasalahan Tanzih dan Tasybih akan lebih menjelaskan konsep Wahdat Wujud.
Al-Hirah (Ketakjuban, Kebingungan, Laut Tanpa Pantai, Anggur Keabadian)
AL-Hirah merupakan ketakjuban dan puncak dari pengenalan akan Allah yang dalam hal ini Ibn Arabi menjelaskan:
“Uluhiyyat (ketuhanan) dapat dikatakan karena ia merupakan tawajjuh (kehendak) Zat untuk mewujudkan semua hal yang mungkin, adapun Zat tidaklah dapat dikatakan namaun disaksikan.”
Hal ini mungkin dapat dijelaskan sebagai berikut:
Zat Allah Esa dan Tunggal adanya namun tidaksatu makhlukpun dapat mengetahui hakikat Zat tersebut serta segala potensi yang ada pada Zat Allah. Penyaksian akan ZatNya bisa terjadi pada orang tertentu dan penyaksian itu bukanlah meluputi akan keadaan ZatNya. Ol;eh sebab itu tidak bisa dikatakan karena segalanya luluh dan fana ketika penyaksian itu terjadi. Sedangkan Uluhiyat bisa dikatakan karena Ia berhubungan dengan segala yang mungkin. Dalam al-Quran Allah berfirman:
Wayuhazzirukumullahu nafsah
Artinya: Allah melarang kamu untuk berpikir tentang diri (Zat)Nya. Ali Imran 28.
Pada ayat yang lain, Allah berfirman:
Wamaa qadarullahu haqqa qadrih
Artinya: dan mereka tidak mampu memperkirakan Allah dengan sebenar-benar perkiraan, Al-An’am 91.
Di samping itu Kalimat Allah atau seala yang mewujud karenaNya atau segala yang berasal dariNya tidak terhingga atau tidak terbats, oleh sebab itu tidak ada bats dalam mengenal Allah Swt. Jadi yang diketahui hanya keesaanNya sedang kuasaNya tanpa batas.
Ibn Arabi menjelaskan dalam tafsirnya mengenai ayat terakhir daru surat al-Kahfi:
“Katakanlah jika lautan huyuli (asal keberadaan alam semesta) yang menerima berbagi macam gambar yang mewuudkan segala ilmu Allah dijadikan sebagai tinta untuk menuliskan segala makna dan hakikat dan roh yang ada pada ZatNya maka air lautan akan habis sebelum habisnya kalimat Allah, karena ia tidak terhingga adanya. Tidak mungkin satu yang terbatas bisa mengibaratkan Yang Tidak Terbatas.”
Jika dikaitkan dengan dua aspek yaitu tanzih dan tasybih, maka aspek tanzihNya adalah ketidak terbatasan Zat Allah atau Maha SuciNya Ia dari segala ikatan dan keterbatasan. Sedang aspek tasybihNya adalah kalimatNya atau fenomena segala alam ini yang mewujud denganNya. Alam ini sendiri juga tidak terbatas, sebagaimana kalimat Allah tidak terbatas. Jadi puncak pengenalan akan Allah adalah ketidak mampuan untuk mengenalNya dan ketakjban akan keMaha BesaranNya. Sebagaimana Nabi bersabda:
Allahumma la nuhshi tsanaan ‘alaika anta kama atsnaita ‘ala nafsika
Artinya: “Ya Tuhan kami kami tidak mampu menghumpun pujian kepadaMua sebagaimana Engakau memuji diriMu Sendiri.”
Abu Bakar berkata: “ketidak sanggupan untuk mengenal Allah adalah pengenalan. Oleh sebab itu Abu Talib al-Makki berkata: “tidak mengenal Allah selain Allah.” Nabi Saw juga pernah bersabda: “Rabbi zidni fika tahayyuran” yang artinya : “Wahai Tuhanku tambakanlah kepadaku keta’juban.” Hal ini dita’wilkan oleh Ib Arabi sebagai kesinambunan takalliyat Allah kepada Nabi Saw. Kesinambungan tajalliyat adalah bertambahnya senantiasa ilmu pengenalan akan Allah dan itu tentunya tiada batas.
Nabi Muhammad Saw merupakan jalan petunjuk kepada ketakjubanyang membaw panji pujian kelak dihari kiamat. Beliaulah hamba yang paling mengenal Allah. Oleh sebab itu seorang tidak akan mampau mengenal Allah kecuali melalui jalan atau cermin Muhammad Saw. Ibn Arabi menjelaskan dalam kitab fusus al-Hikam:
“Allah berfirman: “sesungguhnya sahabatmu tidaklah sesat dan salah: an-an’am 2, atau Ia tidak takut dalam keheranannya karena Ia mengetahi bahwa puncak dalam pengenalan akan Allah adalah hirah (ketakjuban). Maka barang siapa yang sampai dalam keadaan ini maka ia telah beroleh petunjuk dan dia adalah yang menunjuki dan menjelaskan dalam penetapan ketakjuban.”
Ibn Arabi menyebutkan: “ Yang Haq adalah lautan dasarnya adalah azali pantainya adalah abadi.” Inilah lautan yang tiada tepi, ia melantunkan syair dalam ketakjuban: Aku terkesima pada Samudera dantap pantai dan Pantai tanpa samudera Pada Cahaya pagi tanpa kegelapan dan Malam tanpa fajar Pada dunia tanpa tempat yang diketahui oleh pagan dan pendeta Pada kubah biri langit, menjulang tinggi dan berputar Kemahakuasaan adalah pusatNya dan pada bumi yang subur tanpa kubah dan tempat, tersembunyi rahasia.
Tasybih dan Tanzih
Permasalahan Tasybi dan Tanzi juga merupakan polemik dari daulu ingga sekarang. Dalam al ini Ibn Arabi berpendapat bahwa dalam mengenal Allah manusia harus melihat TanzihNya (Kesecuian Allah dari segala sifat yang baharu) pada TasybihNya (KeserupaanNya dengan yang baharu) dan tasybihNya pada tanzihNya. Artinya untuk mengenal Allah harus menggabungkan dua aspek tadi sekaligus. Ibn Arabi sering mengutip perkataan Abu Sa’id Al-Kharraj: “ Aku mengenal Allah dengan menggabungkan dua hal yang bertentangan.” Menurutnya apabila seorang menganal Allah hanya dengan aspek tanzih berarti dia telah membatasi kemutlakanNya. Karena tanzih berarti menafikan segala sifat bagi Allah sperti yang dilakukan ole kalangan Mu’tazila yang melucuti Tuhan dari segala sifat, hingga Allah menjadi suatu yang tak bisa dikenal dan dijangkau. Al ini mengakibatkan terputusnya hubungan Tuhan dengan manusia. Kemudian jika hanya mengenal Allah dalam aspek tasybih saja seperti yang dilakukan kalangan al_mujassimah maka mengakibatkan keserupaan Tuhan dengan yang baharu.
Dalam kitab Fusus al-Hikam Ia mengatakan:
“Pensucian dari orang yang mensucikan merupakan pembatasan bagi yang disucikan, karena ia telah mengistimewakan Allah dan memisahkanNya dari sesuatu yang menyerupai, jadi pensucianNya dari suatu sifat yang wajib merupakan keterikatan dan keterbatasan, maka tidak ada di sana kecualai Yang terikat dan Maha Tinggi dengan kemutlakanNya dan ketidak terbatasanNya.”
‘Abd al_raziq al-Qasyani menjelaskan mengenai hal ini bahwa tanzih berarti mengistimewakan Allah dari segala yang baharu yang sifatnya materi dan dari segala yang tidak pantas baginya pensucian dari sigat materi, hal ini berarti bahawa setiap seuatu yang berbeda dari yang lain maka ia tentu memiliki sigat yang bertentangan dari yang lain tersebut. Dengan begitu ia menjadi teriakt denagn suatu sifat dan erbatas dengan satu batasan. Jadi tanzih tersebut merupakan pembatasan. Lebih jelasnya, bahwa yang mensucikan telah mensucikan Allah dari sifat materi dan menyamakanNya dengan sifat rohani yang suci. Dengan begitu ia telah mensucikan Allah dari keterbatasan namun dengan sendirinya ia telah membatasNya dengan kemutlakan, sedang Allah Maha Suci dari ikatan keterbatasan dan kemutlakan, akan tetapi Ia Maha Mutlaq tidak terikat oleh tanzih maupun tasybih juga tidak menafikan keduanya. Ibn Arabi juga menjelaskan:
“Tidak ada yang serupa denganNya” potongan ayat ini mengisyaratkan tanzih, dan “Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” potongan ayat ini mengisyaratkan tasybih.
Abd Karim al-Jily menerangkan mengenai hal ini sebagai berikut:
“Yang mensucikan mengosongkan Tuhan dari segala sifat sehingga dia menghilangkan kuasa Tuhan, yang menyerupakan Tuhan menghiasaiNya dengan sifat yang tak pantas aritnya memakaikan Tuhan dengan sifat selainNya (Mujassimah) sedang yang berada di antara keduanya (tidak mengosongkan dan tidak memakaikan) artinya seorang yang ‘arif yang beada antara tasybih dan tanzih tidak menanggalkan apa yang pantas bagi Allah dan menyifatiNya dengan pakaian atau sifat yang tidak pantas bagiNya. Bahkan ia berkata Allah adalah Yang Lahir dan Yang Batin atau ia menyifati Allah dengan Lahir dan Batin. Aspek Batin merupakan hukum kesempurnaan bagiNya sedang aspek Lahir merupakan nyatanya Ia dalam segala yang ada.”
Ibn Arabi menjelaskan dalam sebuah syair: jika engkau mengatakan dengan tanzih maka engakau membuatNya terikat jika engkau mengatakan dengan tasybih engkau membuatNya terbatas jika engakau katana dengan dua hal tadi maka engkau benar engkau menjadi imam dalam ma’rifat dan menjadi penghulu.
Penafsiran Ibn Arabi tentang tanzih dan tasybih sesuai dengan doktrin ontologisnya tentang wahdatulwujud, yang bertumpu pada perumusan ambiguous:
“Dia dan bukan Dia” (huwa la huwa) sebagai jawaban atas persoalan apakah alam identik dengan Tuhan. Dalam perumusanini terkadnung dua bagian jawaban:
bagian positif, yaitu ‘Dia’ dan bagian negatif, yaitu ‘bukan Dia’.
Bagian pertama menyatakan bahwa alam identik dengan Tuhan. Bagian terakhir menegaskan aspek tanzih Tuhan. Dapat pula dikatakan bahwa penafsiran Ibn Arabi tentang tanzih dan tasybih sejalan denagn prinsip memadukan segala hal yang bertentangan. Misalnya antara Yang Satu dan yang banyak, Yang Lahir dan Yang Batin. Oleh sebab itu dinaytakan Hakikat Muhammad lah yang menghimpun antar aspek tanzih dan tasybih antara Qran dan Furqan antara Jama’ dan Tafsil.
Ada ungkapan-ungkapan kaum sufi yang mengisyaratkan tasybih yang dikenal dengan syatahat seperti ungkapan Biyazid: “Maha Suci Aku betapa Agung keadaanKu.” Begitu juga imam Junaid: “Tidak ada dalam jubah ini selain Allah.” Al-Hallaj juga berkata: “Ana al-Haq.” Abu Bakar as-Syibli berkata: “Aku adalah titik dibawah Ba.” Perkatan ini semua mengandung tasybih al-Haq dengan yang baharu. Ada sebagian kaum yang mengkafifkan orang yang berkata demikian dan ada yang menta’wilkan. Kaum sufi berkata demikian dalam keadaan iluminasi dan menyaksikan Wajah Yang Satu hingga mereka menyatakan ungkapan syatahat (ungkapanyang janggal dalam keadaan fana). Sedangkan Fir’aun mengatakannya dalam kesadaran penuh akan keberadaan nafsunya dan keberadaan dirinya sebagi Tuhan dan tidak mengaku adanya Allah.
Ini semua berkaitan dengan ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat. Sepanjang sejarah pembicaraan ini taidak pernah habisnya, karena kasus Keesaan Tuhan terus bergulir. Ulama salaf mengimani ayat mutasyabihat dalam batasan tdiak menta’wilkan sebagaimana ungkapan Imam Malik: “Istiwa’ itu diketahui artinya, kaifiyyahnya tidak diketahui,beriman dengannya wajib, bertanya mengenainya bid’ah.” Ulama khalaf menta’wilkannya, ada yang menta’wilkannya dengan berkuasa dan mengatur. Sedang kaum Mu’tazilah mensucikan Tuhandari segala sifat apa lagi sifat yang bahari dengan alsan jika sifat itu qadim maka akan banyaklah yang qadim. Kaum mujassimah menyamakanNya dengan yang baharu dan seterusnya.
Berkaitan dengan muhkamat dan mutasyabihat ini dijelaskan dalam al-Quran surat Ali-Imran ayat 7:
Huwal lazi anzala…..
Artinya: Dialah yang menurunkan al-Quran kepadamu diantaranya ada yang muhkamat itulah ummul kitab (induk kiab) dan yang lainnya mutasyabihat.”
Jadi ayat yang muhkamat mewakili aspek tanzih sedang yang mutasyabihat mewakili aspek tasybih. Mengenai ayat ini Ibn Arabi menafsirkan ayat muhkamat adalah yang mengandung makna yang satu yang merupakan asal kitab dan tidak dimasuki penyerupaan dengan yang baharu, sedang yang lain mutasyabihat. Mutasyabihat ini yang mungkin memiliki dua makna atau lebih atas samr di situ antara yang haq dan yang batil, hal ini dikarenakan bahwa Allah memiliki Wajah Yang Esa dan Kekal setelah fananya makhluk yang tidak mengandung pluralitas dan keterbilangan disamping itu Allah juga memiliki wajah-wajah yang banyak sesuai dengan cermin-cermin penampakanNya berdasarkan potensi penampakanNya dan seluruhnya bersumber dari Wajah Yang Satu tadi. Pada wajah yang banyak inilah samar antara Haq dan yang batil maka turunlah ayat al-Quran agar ayat-ayat mutasyabihat diletakkan pada wajah-wajah yang sesuai dengan potensinya hingga setiap sesuatu berkaitan dengan yang lain sesuai dengan kesiapannya. Maka dari sinilah timbul ujian dan cobaan. Adapun orang ‘arif yang muhaqqa yang mengenal Wajah Yang Kekal dalam berbagai gambaran dan bentuk mengenal wajah tersebut dari wajah-wajah yang mustasyabihat maka ia mengembalikannya kepada muhkamat melaksanakan perkataan penyari:
“Sungguh Wajah hanyalah Saturda
Namun jika engkau perbanyak cermin Ia menjadi terbilang.”
Adapun orang yang terhijab (atau orang yang bengkok hatinya) dari kebenaran maka dia akam mengikuti yang mutasyabihat karena ia terhijab dari Yang Satu oleh yang banyak dan memilih keyakinan sesuai dengan seleranya untuk menyebarkan fitnah.
Jalan untuk mengenal yang muhkamat dan mutasyabihat adalah lewat cermin Muhammad Saw mengikuti ajarannya dengan memasrahkan pengetahun mengenai hal tersebut kepada Allah agar Allah membukakan kepad akita dan mengenalkan diriNya kepada kita. Hal ini yang dijelaskan oleh Ibn Arabi dalam kitabya Fusus al-Hikam dalam Fas Nuh As:
“Ketahuilah bahwa Allah menuntut dari hambanya untuk mengenalNya sebagaimana yang telah diterangkan oleh Lisan segala syariat dalam menyifatiNya, maka akal tidaklah boleh melampauiNya sebelum datangnya syariat, ilmu mengenaiNya pensucian dari sifat-sifat baharu, jadi seorang ‘arif adalah orang yang memiliki dua pengenalan tentang Allah: pengenalan sebelum datangnya syariat dan pengenalan yang ia peroleh dari syara’, akan tetapi syaratnya hendaklah ia menyerahkan ilmu tersebut kepada Allah, jika Allah menyingkapkan baginya tentang ilmu itu maka hal itu merupakan anugrah dari pintu pemberian Zat Allah.”
Kesimpulannya Allah Mutlak dengan keterbatasanNya dan Terbatas dengan kemutlakanNya. Dalam kata lain Allah Mutlak dari segi ZatNya Yang Maha Suci dari seala sifat dan terbatas dalam kemutlakan dengan nama-nama, sifat-sifat, af’al, dan mazahir kauniyah (fenomena-fenomena alam) yang merupakan tajalliyatNya yang tak terhingga. Jadi penampakanNya itu sendiri tidak terbatas, karena kalimatNya tidak pernah habis. Inilah yang disebut sebagai lautan yang tak bertepi.Dialah Yang Maha Esa dalam banyak rupa dan rupa yang banyak adalah pada hakikatnya wajah-wajah dari Zat Yang Esa. Yang banyak adalah tiada dan yang ada hanya Zat yang Esa. Dialah jami’ atau penghimpun segalanya dan fariq yang membedakan segalanya dalam berbagai rupa. Aspek JamalNya (keindahan) mewakili tasybih dan aspek JalalNya (keagungan) mewakili tanzih keduanya mewujudkan Kamal (kesempurnaan) bagi ZatNya. Namun keseluruhannya itu menunjukkan kemutlakan yang tak terhingga.
Di atas semua itu pengenalan akan Allah adalah ketidak tahuan. Kelemahan untuk mengenalNya adalah pengenalan. Mengutip perkataan Abu Talib al-Makki: “Tiada ada yang mampu mengenal, “tidak ada yagn setata denganNya dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat” kecuali “Tidak ada yang setara denganNya dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat